Senin, 08 September 2008

Perilaku Ramah Lingkungan Untuk Selamatkan Bumi

Kerusakan lingkungan sebagian besar disebabkan oleh perilaku atau kebiasaan buruk manusia yang tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu, manusia harus menjadi aktor utama untuk memperbaiki Bumi agar terhindar dari kepunahan. Banyak hal yang dapat dilakukan, tanpa harus muluk-muluk, kita dapat menyelamatkan Bumi dengan tidak membuang sampah di sembarang tempat atau mengurangi penggunaan bahan bakar minyak yang menghasilkan polusi karbon dioksida.

Dalam menyambut Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada tanggal 5 Juni 2008, Badan Lingkungan Hidup Dunia atau United Nations Environmental Programme (UNEP) memunculkan tema: “CO2 Kick The Habit, Toward a Low Carbon Economy” yang kemudian temanya disesuaikan dengan kondisi di Indonesia menjadi “Ubah Perilaku dan Cegah Pencemaran Lingkungan”.

Menurut Menteri Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar, tema tersebut dipilih untuk terus menerus mengingatkan bahwa pencemaran dan kerusakan lingkungan masih terjadi di berbagai wilayah yang menyebabkan bencana lingkungan. Rusaknya hutan dan lahan telah menyebabkan dampak yang meluas, seperti perubahan iklim dan krisis pangan. Keterkaitan keduanya sangat erat, banjir dan longsor terbukti telah merusak lahan pertanian yang mengakibatkan hasil panen dan stok pangan nasional turun.

Pemanfaatan ruang seringkali tidak sesuai dengan kemampuan lahan sehingga melebihi daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Menurut Rachmat Witoelar, upaya penyelamatan lingkungan sudah mendesak dilakukan. Untuk itu perlu adanya perubahan perilaku yang ramah lingkungan. Upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim perlu dilakukan secara konsisten. Dengan demikian, keseimbangan kepentingan lingkungan, sosial, dan ekonomi dapat tercapai.

Sesuai dengan semangat 100 Tahun Kebangkitan Nasional, pemerintah mengimbau semua pihak baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengusaha, akademisi maupun masyarakat umum untuk bersama-sama mengedepankan kepentingan lingkungan dengan menjadikan momentum Hari Lingkungan Hidup 2008 menjadi awal perubahan perilaku yang ramah lingkungan seperti pola hidup hemat energi, hemat air dan penggunaan sumber daya alam secara arif.

Perilaku Ramah Lingkungan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerukan upaya penyelematan lingkungan dan penghematan energi menyusul semakin menurunnya kualitas lingkungan yang ditandai dengan pemanasan global dan perubahan iklim. Upaya tersebut harus dilakukan berbagai lapisan masyarakat, khususnya perusahaan dan pemerintah daerah (Pemda).

Perubahan iklim dan pemanasan global telah nyata terjadi sehingga tidak perlu diperdebatkan. Semua pihak perlu bertindak nyata untuk mengatasi hal tersebut. Presiden menyatakan hal tersebut dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Jakarta, yang bertepatan dengan tanggal 5 Juni 2008. Menurut Presiden, semua pihak harus menggelorakan gerakan hidup sehat, bersih dan indah. Presiden mengingatkan kepada para pimpinan di daerah bahwa kualitas lingkungan hidup merupakan salah satu indikator keberhasilan pimpinan daerah. “Jadilah kepala daerah yang peduli dan sayang pada lingkungan. Itu cerminan pemimpin yang baik,” tegas Presiden.

Masyarakat dituntut agar mengubah perilaku dengan aktif mencegah pencemaran lingkungan, terutama yang ditimbulkan oleh emisi karbon dioksida. “Saatnya bertindak sekarang dan jangan menunggu, bukan lagi bicara, waspadalah,” kata Presiden. Penghematan energi harus dilakukan karena dapat mengurangi gas karbon dioksida dan menyelamatkan bumi. Presiden mencontohkan upaya penghematan listrik di kompleks Istana Negara dengan mengatur suhu AC sampai 24 derajat, yang menghasilkan penghematan 30-40 persen. “Mari kita bangun budaya penghematan,” kata Presiden.

Lebih jauh Presiden mengatakan bukan saatnya lagi berbicata menghimbau soal pelestarian dan pengendalian lingkungan. Dengan berbagai bencana yang kerap terjadi, Presiden meminta semua elemen masyarakat menjaga dan melestarikan lingkungan. “Tuhan telah memberikan lampu merah dan lampu kuning, dengan memberi bencana. Saatnya bertindak mulai dari diri sendiri untuk pelestarian lingkungan”, tegas Presiden.

Fenomena Air Laut Pasang

Salah satu gejala alam yang makin sulit diprediksi akibat kerusakan lingkungan dan pemanasan global adalah fenomena air laut pasang. Kedatangan air laut pasang (rob) di pesisir Pantai Utara Jakarta pada awal Juni 2008 terasa ganjil tidak seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Biasanya rob menerjang perumahan warga masyarakat pada malam hari, tetapi rob pada tahun ini datang pada pagi hari. Warga masyarakat menjadi panik karena pada saat mereka melakukan aktivitas tiba-tiba rumah sudah tergenang.

Tentu saja kedatangan rob yang tiba-tiba tersebut menyebabkan aktivitas warga masyarakat menjadi berantakan. Warga yang sedang melakukan jual beli di pasar tradisional langsung lari ke rumah masing-masing. Hingga sore hari air laut setinggi 1 meter yang menggenangi perkampungan penduduk di wilayah Jakarta Utara ini belum surut.

Kedatangan rob pada tahun 2008 terasa ganjil. Dulu rob hanya datang sekali dalam setahun, yaitu pada bulan Desember. Sekarang ini kehadiran rob menjadi lebih sering dan waktunya tidak terprediksi lagi. Diperkirakan kehadiran rob yang makin leluasa menghajar permukiman penduduk disebabkan karena kerusakan lingkungan, terutama tata ruang wilayah yang tidak baik dan tidak serasi dengan lingkungan.

Pengolahan Limbah

Selain itu, perilaku tidak baik dan dapat merusak lingkungan yang masih banyak dilakukan oleh kalangan pengusaha adalah tidak seriusnya pengusaha melakukan pengolahan limbah. Hal itu dapat terlihat dari masih banyaknya pelaku industri yang tidak melaporkan hasil pengolahan limbah cairnya kepada instansi yang berwenang. Berdasarkan data BPLHD DKI Jakarta, pada 2008 ini dari 100 lebih perusahaan di pesisir Pantai Utara Jakarta baru 37 perusahaan yang sudah bekerja sama.

Idealnya setiap perusahaan menyerahkan contoh limbah cairnya dalam jangka waktu tiga bulan sekali atau empat kali dalam setahun. Namun kenyataannya masih banyak perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut. Pada tahun 2007, dari 1.072 industri sebanyak 190 perusahaan tidak pernah menyerahkan pengolahan limbah. Kemudian sebanyak 161 perusahaan melaporkan satu kali, 119 perusahaan (dua kali) dan 254 perusahaan (tiga kali).

Menurut Kepala BPLHD DKI Jakarta Budi Rama Natakusumah, banyak faktor yang menyebabkan perusahaan enggan untuk menyerahkan contoh limbah cairnya. Sebagian di antaranya karena lupa batas waktu penyerahan. Ada yang memang enggan bekerja sama, serta ada juga perusahaan yang pindah alamat atau tutup.

Menurut Budi Rama Natakusumah, tercemarnya air di pesisir Pantai Utara Jakarta tidak terlepas dari pencemaran yang ada di 13 sungai yang melintasi Jakarta. Mayoritas pencemaran berupa limbah domestik yang mengalir dari hulu ke hilir. Pihak BPLHD DKI Jakarta mengaku lebih sulit memantau limbah domestik dibandingkan dengan industri.

Ketua Dewan Pengurus Nasional Apindo, Djimanto, mengharapkan pemerintah dapat memberikan intensif kepada pengusaha yang ingin bekerja sama dalam pengolahan air limbah. Menurut Djimanto, pengusaha yang melakukan pengolahan air limbah tidak hanya diberi sertifikat tetapi juga perlu diberi insentif pajak. Dengan demikian akan lebih banyak lagi pengusaha yang ingin bekerja sama dalam pengolahan air limbah.

Semua pihak harus didorong agar dapat merubah perilaku buruknya sehingga menjadi lebih ramah terhadap lingkungan. Betapapun kecilnya perubahan tersebut kalau dilakukan secara bersama-sama akan menjadi sangat berarti bagi upaya penyelamatan Bumi dari kehancurannya. Intinya, semua pihak harus menghentikan perilaku dan kebiasaan buruknya, kemudian melakukan upaya dan aktivitas yang ramah terhadap lingkungan.* (Ahmad Jauhari)

Tidak ada komentar: