Selasa, 07 Mei 2013

Pengelolaan Limbah Industri Gula



Oleh: Ir. HA Jauhari, MSi

    Pemerintah Indonesia telah mencanangkan program swasembada gula dapat direalisasikan pada tahun 2014. Berbagai upaya untuk mewujudkan hal tersebut terus dilakukan, antara lain perluasan lahan tanaman tebu serta revitalisasi dan pendirian pabrik gula. Di balik program swasembada gula tersebut akan menimbulkan dampak merugikan, yaitu berupa limbah industri gula yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan kerusakan lingkungan.
        Indonesia bertekad menjadi negara yang mampu memenuhi kebutuhan gula dalam negeri atau swasembada gula pada 2014. Hal demikian bukan hal yang sulit diraih karena Indonesia pernah tercatat sebagai negara eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba, yaitu pada sekitar tahun 1930-an dengan produksi mencapai 3 juta ton per tahun.
       Masa kejayaan Indonesia sebagai produsen gula tersebut kini ingin diraih kembali. Pada 2012, produksi gula nasional Indonesia hanya mencapai sekitar 2,56 juta atau meningkat dibanding 2011 yang hanya 2,2 juta ton. Jumlah produksi gula tersebut belum mampu menutupi kebutuhan nasional terhadap gula konsumsi (gula kristal putih) yang mencapai sekitar 3 juta ton.
Sejak beberapa tahun lalu, pemerintah Indonesia telah mencanangkan program swasembada gula untuk pemenuhan gula konsumsi dapat direalisasikan pada 2014. Berbagai upaya untuk menuju ke arah swasembada gula terus dilakukan, antara lain perluasan kebun tebu, revitalisasi pabrik gula lama dan pendirian pabrik gula yang baru. Namun, di balik upaya swasembada gula tersebut terdapat ancaman terhadap lingkungan yang perlu mendapat perhatian, yaitu berupa limbah industri gula yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan kerusakan terhadap lingkungan.

Dampak Limbah Terhadap Lingkungan
        Proses industri gula menimbulkan berbagai macam pencemar dalam bentuk asap atau gas, padatan maupun cairan. Pencemar dalam bentuk asap dan debu dapat merugikan dan menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat, mengganggu kesehatan paru-paru dan sistem pernafasan serta bagi indera yang lain seperti kulit, mata dan lain sebagainya.
Sementara itu, pencemar dalam bentuk padatan dapat berupa abu tebu, bagase dan blotong. Abu tebu dapat merugikan pertanian masyarakat, terutama dapat menurunkan tingkat kesuburan tanah. Sedangkan bagase dan blotong, yaitu limbah padat hasil dari proses produksi pembuatan gula dapat menimbulkan pencemaran lingkungan dan bau tidak sedap.
Bagase dan blotong cenderung dihasilkan dalam volume cukup besar pada setiap produksi pembuatan gula. Sehingga terjadi penumpukan bagase dan blotong di mana-mana yang berpotensi menjadi sumber pencemaran karena dapat ikut aliran air hujan kemudian masuk ke sungai di sekitar pabrik. Pencemaran air sungai oleh bagase dan blotong dapat menimbulkan bau yang menusuk dan pengurangan oksigen dalam air, sedang bagase dan blotong yang ditumpuk dalam keadaan basah dapat menimbulkan bau yang menusuk dan sangat mengganggu masyarakat sekitar.
Selanjutnya, pencemar dalam bentuk cairan akan sangat berbahaya karena dapat merusak ekosistem air. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya pengelolaan dan pemanfaatan limbah cair industri gula untuk mengurangi dampak yang dirasakan oleh mayarakat di sekitar pabrik.
Limbah cair industri gula berupa tetes apabila langsung dibuang ke badan air akan menimbulkan bau yang sangat tidak sedap sehingga dapat meresahkan dan menimbulkan protes masyarakat. Hal yang demikian pada akhirnya akan menciptakan ketidakselarasian antara pembangunan industri gula dengan keadaan di sekitar industri.
Selain itu, limbah tetes dapat menimbulkan dampak peningkatan COD dan BOD di dalam air sehingga oksigen (O2) di dalam air menjadi turun. Dengan demikian kualitas air di sekitar industri gula dapat menurun dan menyebabkan banyak biota air yang mati karena kekurangan oksigen. Selain itu, jika hal ini terus berlanjut maka akan menaikkan tingkat nutrien di dalam air yang dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan populasi spesies tertentu yang mengganggu keseimbangan ekosistem.

Pemanfatan Limbah Bagase
        Limbah industri gula jika dibiarkan dan tidak dikelola akan menimbulkan gangguan terhadap kesehatan manusia dan kerusakan terhadap lingkungan. Oleh karena itu, limbah industri gula harus dikelola dan bahkan sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk keperluan yang lebih berguna. Bukan itu saja, pengelolaan dan pemanfaatan limbah industri gula sebenarnya sudah menjadi tuntutan untuk mewujudkan industri tanpa limbah (zero emission) yang ramah lingkungan.
       Limbah industri gula berupa ampas atau bagase, blotong dan tetes dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Ampas atau bagase berasal dari tebu yang digiling dapat digunakan sebagai bahan bakar ketel uap. Blotong merupakan endapan dari nira kotor yang ditapis di rotary vacuum filter, sedangkan tetes merupakan sisa sirup terakhir dari masakan yang telah dipisahkan gulanya melalui kristalisasi berulangkali sehingga sudak tidak memungkinkan lagi menghasilkan kristal gula.
    Industri gula menghasilkan ampas atau bagase yang cukup melimpah. Bagase merupakan limbah biomassa mengandung banyak lignocelluloses yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan bioenergi yang ramah lingkungan. Menurut Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) tahun 2008, potensi limbah industri gula di Indonesia cukup besar. Hal itu dapat dilihat dari komposisi rata-rata hasil industri gula di Indonesia berupa limbah cair 52,9 persen, blotong 3,5 persen, ampas (bagasse) 32,0 persen, tetes 4,5 persen dan gula 7,05 persen serta abu 0,1 persen.
Bagase tebu (Saccharum officinarum L.) dari industri gula semula banyak dimanfaatkan oleh pabrik kertas sebagai bahan baku pembuatan kertas. Namun, karena tuntutan dari kualitas kertas dan sudah banyak tersedia bahan baku kertas lain yang lebih berkualitas, sehingga pabrik kertas mulai jarang menggunakannya.
Menurut Budiono (2008), ampas (bagase) tebu mengandung 52,67% kadar air, 55,89% C-organik, 0,25% N-total, 0,16% P2O5, dan 0,38% K2O. Bagase dengan kandungan komposisi tersebut sangat baik untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kompos atau pupuk organik guna menyuburkan tanaman pertanian. Sejumlah hasil penelitian menyebutkan bahwa pemberian kompos atau pupuk organik sebayak 10 ton/hektar akan dapat meningkatkan bobot tebu sebanyak 16,8 ton/hektar.
Selanjutnya pemanfaatan bagase dalam pengembangan teknologi bioproses etanol menggunakan enzim pada proses hidrolisisnya diyakini sebagai suatu proses yang ramah lingkungan. Pemanfaatan enzim sebagai zat penghidrolisis tergantung pada substrat yang menjadi prioritas.
Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menggantikan asam yaitu menggunakan jamur pelapuk putih untuk perlakuan awal kemudian dengan menggunakan enzim selulase untuk menghidrolisis selulosa menjadi glukosa, kemudian melakukan fermentasi dengan menggunakan S. cerivisiae untuk mengkonversi menjadi bioetanol.
Namun, pemanfaatan enzim selulase dan yeast S. cerivisiae tidak mampu mengkonversi kandungan hemiselulosa pada bagase. Padahal sekitar 20-25% komposisi karbohidrat bagas adalah hemiselulosa. Jika kita mampu mengkonversi hemiselulosa berarti akan meningkatkan konversi bagase menjadi bioetanol.
Selain untuk pembuatan bioetanol yang ramah lingkungan, bagase juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pakan ternak. Seperti halnya pakan ternak dari limbah yang mengandung serat pada umumnya, bagase tebu mempunyai faktor pembatas, yaitu kandungan nutrisi dan kecernaannya yang sangat rendah.
Bagase tebu mempunyai kadar serat kasar dan kadar lignin sangat tinggi, yaitu masing-masing sebesar 46,5% dan 14%. Pendekatan bioproses dalam rumen melalui suplementasi amonium sulfat dan defaunasi yang dilakukan pada kambing yang mendapat ransum berbahan dasar limbah tebu belum berhasil meningkatkan produktivitas kambing. Pendekatan melalui teknik pengolahan pakan sebelum pakan dikonsumsi akan dapat meningkatkan daya guna bagase tebu.
Rekayasa teknologi pengolahan pakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas nutrisi bagase tebu adalah teknik amoniasi dan fermentasi. Proses amoniasi akan melemahkan ikatan lignoselulosa bagase tebu serta fermentasi telah terbukti dapat menurunkan kadar serat kasar dan meningkatkan kadar protein kasar. Mikroba yang sering digunakan sebagai agen fermentasi limbah yang mengandung serat kasar tinggi adalah kapang Trichoderma viride. Kapang tersebut akan menghasilkan enzim untuk mencerna serat kasar sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pakan.
Pemanfaatan bagase selanjutnya adalah dalam pembuatan papan partikel. Teknologi pembuatan papan partikel dari bagase telah menghasilkan papan partikel yang memenuhi Standar Industri Indonesia (SII). Papan partikel dari bagase tebu dibuat dengan cara pengeringan, penggilingan, dan penyaringan bagase, pencampuran bagase dengan perekat, resin dan parafin wax serta pencetakan dengan tekanan hidrolik pada kondisi tekanan 10 kg per cm2, suhu 1500C selama 15 menit.

Pemanfaatan Limbah Blotong
Salah satu limbah yang dihasilkan industri gula adalah blotong, yaitu limbah dalam bentuk padat mengandung air, bertemperatur cukup panas dan berbentuk seperti tanah. Sebenarnya blotong adalah serat tebu yang bercampur kotoran yang dipisahkan dari nira. Komposisi blotong terdiri dari sabut, wax dan fat kasar, protein kasar, gula, total abu, SiO2, CaO, P2O5 dan MgO.
Selama ini pemanfaatan blotong pada umumnya sebagai pupuk organik. Di beberapa pabrik gula, blotong diproses menjadi pupuk organik yang kemudian digunakan untuk menyuburkan tanaman tebu. Selain untuk pupuk, blotong juga dimanfaatkan sebagai pengganti kayu bakar. Pemanfaatan blotong sebagai kayu bakar sebenarnya sudah lama dilakukan oleh masyarakat di sekitar pabrik gula.
Pemanfaatan blotong sebagai pengganti kayu bakar diawali dari pengalaman masyarakat setelah melihat bahwa blotong bisa terbakar. Setelah itu kemudian timbul pemikiran untuk memanfaatkan blotong sebagai pengganti kayu bakar dengan cara menghilangkan kadar air yang terkandung di dalamnya. Untuk memudahkan dalam penggunaanya sebagai kayu bakar, masyarakat mencetak blotong dalam ukuran yang mudah diangkut dan sesuai dengan ukuran mulut kompor di dapur.
Proses pembuatan blotong pengganti kayu bakar sangat sederhana, limbah blotong dari pabrik yang masih panas, diangkut dengan dump truk menuju lokasi pengrajin pembuat blotong kayu bakar. Blotong kemudian dijemur di terik matahari selama 2 – 3 minggu dengan intensitas matahari penuh. Sebelum total kering, lapisan blotong ini dipadatkan dengan tujuan untuk mempersempit pori dan membuang sisa kandungan air, kemudian dipotong seukuran batu bata untuk memudahkan pengangkutan.
Hasil yang diperoleh dari proses ini adalah blotong seukuran batu bata yang bobotnya ringan karena kandungan airnya sudah hilang. Ketersediaan blotong sebagai bahan bakar untuk memasak cukup melimpah sehingga masyarakat di sekitar pabrik gula dapat memiliki cadangan blotong bahan bakar hingga musim giling tebu tahun depan.
Selain itu, blotong dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein. Kandungan protein dari nira tebu sekitar 0,5% berat zat padat terlarut. Dari kandungan tersebut telah dicoba untuk melakukan ekstraksi protein dari blotong dan ditemukan bahwa kandungan protein dari blotong yang diperas  sebesar 7,4%.
Blotong dengan kandungan protein yang cukup tinggi dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dengan cara dikeringkan dan dipisahkan partikel tanah yang terdapat di dalamnya. Untuk menghindari kerusakan oleh jamur dan bakteri blotong yang telah dikeringkan harus langsung digunakan dalam bentuk pellet.

Pemanfaatan Limbah Tetes
Tetes merupakan limbah yang diperoleh dari hasil pemisahan sirop low grade di mana gula dalam sirop tersebut tidak dapat dikristalkan lagi. Tetes yang dihasilkan pada pemrosesan gula sekitar 5-6% dari berat tebu, sehingga untuk pabrik dengan kapasitas 6.000 ton tebu per hari akan menghasilkan tetes sekitar 300 ton sampai 360 ton tetes per hari. Walaupun masih mengandung gula, tetes sangat tidak layak untuk dikonsumsi karena mengandung kotoran bukan gula yang membahayakan kesehatan.
Penggunaan tetes sebagian besar untuk industri fermentasi seperti alkohol, pabrik MSG, pabrik pakan ternak dan lain-lain. Tetes merupakan bahan yang kaya akan karbohidrat mudah larut (48-68%), mengandung mineral cukup banyak dan disukai ternak karena baunya manis. Selain itu, tetes juga mengandung vitamin B komplek yang sangat berguna untuk sapi anakan.
Tetes mengandung mineral kalium sangat tinggi sehingga pemakaiannya pada sapi harus dibatasi maksimal 1,5-2 kg/ekor/hari. Penggunaan tetes sebagai pakan ternak sebagai sumber energi dan meningkatkan nafsu makan, selain itu juga untuk meningkatkan kualitas bahan pakan dengan peningkatan daya cernanya. Apabila takaran melebihi batas atau sapi belum terbiasa memakannya maka akan dapat menyebabkan kotoran sapi menjadi lembek.
Selain itu, tetes dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan bioetanol. Pembuatan bioetanol dari tetes dilakukan melalui tahap pengenceran karena kadar gula dalam tetes tebu terlalu tinggi untuk proses fermentasi. Kadar gula yang diinginkan kurang lebih adalah 14%. Kemudian dilakukan penambahan ragi, urea dan NPK, selanjutnya dilakukan proses fermentasi.
Proses fermentasi berjalan kurang lebih selama 66 jam atau sekitar 2,5 hari. Salah satu tanda bahwa fermentasi sudah selesai adalah tidak terlihat lagi adanya gelembung udara. Kadar etanol di dalam cairan fermentasi kurang lebih 7-10%. Setelah proses fermentasi selesai, cairan hasil fermentasi dimasukkan ke dalam evaporator atau boiler dan suhunya dipertahankan antara 79-810C. Pada suhu ini etanol sudah menguap, tetapi air tidak menguap, selanjutnya uap etanol dialirkan ke distilator.
Bioetanol akan keluar dari pipa pengeluaran distilator. Pada distilasi pertama, biasanya kadar etanol masih di bawah 95%. Apabila kadar etanol masih di bawah 95%, distilasi perlu diulangi lagi hingga kadar etanol menjadi 95%. Apabila kadar etanol sudah 95% kemudian dilakukan dehidrasi atau penghilangan air. Untuk menghilangkan air bisa menggunakan kapur tohor atau zeolit sintetis. Setelah itu didistilasi lagi hingga kadar airnya kurang lebih 99.5%.
            Berbagai pemanfaatan limbah industri gula tersebut bukan saja dapat meningkatkan nilai tambah dan nilai guna limbah tetapi juga dapat mengatasi masalah lingkungan. Pemanfaatan limbah industri gula perlu terus dikembangkan sehingga kehadiran pabrik gula tidak menimbulkan dampak yang merugikan terhadap lingkungan dan gangguan terhadap warga masyarakat di sekitarnya tetapi justeru memberikan manfaat yang menguntungkan.*

Tidak ada komentar: