Oleh: Ir. HA Jauhari, MSi
Pemerintah
Indonesia telah mencanangkan program swasembada gula dapat direalisasikan pada
tahun 2014. Berbagai upaya untuk mewujudkan hal tersebut terus dilakukan,
antara lain perluasan lahan tanaman tebu serta revitalisasi dan pendirian
pabrik gula. Di balik program swasembada gula tersebut akan menimbulkan dampak
merugikan, yaitu berupa limbah industri gula yang dapat menimbulkan gangguan
kesehatan dan kerusakan lingkungan.
Indonesia bertekad
menjadi negara yang mampu memenuhi kebutuhan gula dalam negeri atau swasembada
gula pada 2014. Hal demikian bukan hal yang sulit diraih karena Indonesia
pernah tercatat sebagai negara eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah
Kuba, yaitu pada sekitar tahun 1930-an dengan produksi mencapai 3 juta ton per
tahun.
Masa kejayaan
Indonesia sebagai produsen gula tersebut kini ingin diraih kembali. Pada 2012, produksi gula nasional Indonesia hanya mencapai sekitar 2,56
juta atau meningkat dibanding 2011 yang hanya 2,2 juta ton. Jumlah produksi gula
tersebut belum mampu menutupi kebutuhan nasional terhadap gula konsumsi (gula
kristal putih) yang mencapai sekitar 3 juta ton.
Sejak
beberapa tahun lalu, pemerintah Indonesia telah mencanangkan program swasembada
gula untuk pemenuhan gula konsumsi dapat direalisasikan pada 2014. Berbagai
upaya untuk menuju ke arah swasembada gula terus dilakukan, antara lain
perluasan kebun tebu, revitalisasi pabrik gula lama dan pendirian pabrik gula
yang baru. Namun, di balik upaya swasembada gula tersebut terdapat ancaman
terhadap lingkungan yang perlu mendapat perhatian, yaitu berupa limbah industri
gula yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan kerusakan terhadap
lingkungan.
Dampak Limbah Terhadap Lingkungan
Proses industri gula menimbulkan berbagai macam pencemar
dalam bentuk asap atau gas, padatan maupun cairan. Pencemar dalam
bentuk asap dan debu dapat merugikan dan menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat,
mengganggu kesehatan paru-paru dan sistem pernafasan serta bagi indera yang lain
seperti kulit, mata dan lain sebagainya.
Sementara itu, pencemar dalam
bentuk padatan dapat berupa abu tebu, bagase dan blotong. Abu tebu dapat merugikan
pertanian masyarakat, terutama dapat menurunkan tingkat kesuburan tanah.
Sedangkan bagase dan blotong, yaitu limbah
padat hasil dari proses produksi pembuatan gula dapat menimbulkan pencemaran
lingkungan dan bau tidak sedap.
Bagase dan blotong cenderung
dihasilkan dalam volume cukup besar pada setiap produksi pembuatan gula.
Sehingga terjadi penumpukan bagase dan blotong di mana-mana yang berpotensi menjadi
sumber pencemaran karena dapat ikut aliran air hujan kemudian masuk ke sungai
di sekitar pabrik. Pencemaran air sungai oleh bagase dan blotong dapat menimbulkan
bau yang menusuk dan pengurangan oksigen dalam air, sedang bagase dan blotong
yang ditumpuk dalam keadaan basah dapat menimbulkan bau yang menusuk dan sangat
mengganggu masyarakat sekitar.
Selanjutnya, pencemar dalam
bentuk cairan akan sangat berbahaya karena dapat merusak ekosistem air. Oleh karena
itu, perlu dilakukan upaya pengelolaan dan pemanfaatan limbah cair industri
gula untuk mengurangi dampak yang dirasakan oleh mayarakat di sekitar pabrik.
Limbah cair industri gula berupa
tetes apabila langsung dibuang ke badan air akan menimbulkan bau yang sangat
tidak sedap sehingga dapat meresahkan dan menimbulkan protes masyarakat. Hal
yang demikian pada akhirnya akan menciptakan ketidakselarasian antara
pembangunan industri gula dengan keadaan di sekitar industri.
Selain itu, limbah tetes dapat menimbulkan
dampak peningkatan COD dan BOD di dalam air sehingga oksigen (O2) di
dalam air menjadi turun. Dengan demikian kualitas air di sekitar industri gula
dapat menurun dan menyebabkan banyak biota air yang mati karena kekurangan
oksigen. Selain itu, jika hal ini terus berlanjut maka akan menaikkan tingkat
nutrien di dalam air yang dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan populasi
spesies tertentu yang mengganggu keseimbangan ekosistem.
Pemanfatan
Limbah Bagase
Limbah industri
gula jika dibiarkan dan tidak dikelola akan menimbulkan gangguan terhadap kesehatan
manusia dan kerusakan terhadap lingkungan. Oleh karena itu, limbah industri
gula harus dikelola dan bahkan sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk keperluan
yang lebih berguna. Bukan itu saja, pengelolaan dan pemanfaatan limbah industri
gula sebenarnya sudah menjadi tuntutan untuk mewujudkan industri tanpa limbah (zero emission) yang ramah lingkungan.
Limbah industri
gula berupa ampas atau bagase, blotong dan tetes dapat dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan. Ampas atau bagase berasal dari tebu yang digiling dapat
digunakan sebagai bahan bakar ketel uap. Blotong merupakan endapan dari nira
kotor yang ditapis di rotary vacuum filter, sedangkan tetes merupakan sisa
sirup terakhir dari masakan yang telah dipisahkan gulanya melalui kristalisasi
berulangkali sehingga sudak tidak memungkinkan lagi menghasilkan kristal gula.
Industri gula
menghasilkan ampas atau bagase yang cukup melimpah. Bagase merupakan limbah
biomassa mengandung banyak lignocelluloses yang dapat dimanfaatkan untuk
pembuatan bioenergi yang ramah lingkungan. Menurut Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) tahun
2008, potensi limbah industri gula di Indonesia cukup besar. Hal itu dapat
dilihat dari komposisi rata-rata hasil industri gula di Indonesia berupa limbah
cair 52,9 persen, blotong 3,5 persen, ampas (bagasse) 32,0 persen, tetes 4,5
persen dan gula 7,05 persen serta abu 0,1 persen.
Bagase tebu (Saccharum officinarum L.) dari industri gula
semula banyak dimanfaatkan oleh pabrik kertas sebagai bahan baku pembuatan
kertas. Namun, karena tuntutan dari kualitas kertas dan sudah banyak tersedia
bahan baku kertas lain yang lebih berkualitas, sehingga pabrik kertas mulai
jarang menggunakannya.
Menurut Budiono (2008), ampas (bagase) tebu mengandung 52,67%
kadar air, 55,89% C-organik, 0,25% N-total, 0,16% P2O5, dan
0,38% K2O. Bagase dengan kandungan komposisi tersebut sangat baik
untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kompos atau pupuk organik guna
menyuburkan tanaman pertanian. Sejumlah hasil penelitian menyebutkan bahwa
pemberian kompos atau pupuk organik sebayak 10 ton/hektar akan dapat meningkatkan
bobot tebu sebanyak 16,8 ton/hektar.
Selanjutnya pemanfaatan bagase dalam pengembangan teknologi
bioproses etanol menggunakan enzim pada proses hidrolisisnya diyakini sebagai
suatu proses yang ramah lingkungan. Pemanfaatan enzim sebagai zat
penghidrolisis tergantung pada substrat yang menjadi prioritas.
Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menggantikan asam yaitu
menggunakan jamur pelapuk putih untuk perlakuan awal kemudian dengan
menggunakan enzim selulase untuk menghidrolisis selulosa menjadi glukosa,
kemudian melakukan fermentasi dengan menggunakan S. cerivisiae untuk
mengkonversi menjadi bioetanol.
Namun, pemanfaatan enzim selulase dan yeast S. cerivisiae tidak
mampu mengkonversi kandungan hemiselulosa pada bagase. Padahal sekitar 20-25%
komposisi karbohidrat bagas adalah hemiselulosa. Jika kita mampu mengkonversi
hemiselulosa berarti akan meningkatkan konversi bagase menjadi bioetanol.
Selain untuk pembuatan bioetanol yang ramah lingkungan, bagase
juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pakan ternak. Seperti
halnya pakan ternak dari limbah yang mengandung serat pada umumnya, bagase tebu
mempunyai faktor pembatas, yaitu kandungan nutrisi dan kecernaannya yang sangat
rendah.
Bagase tebu mempunyai kadar serat kasar dan kadar lignin sangat
tinggi, yaitu masing-masing sebesar 46,5% dan 14%. Pendekatan bioproses dalam
rumen melalui suplementasi amonium sulfat dan defaunasi yang dilakukan pada
kambing yang mendapat ransum berbahan dasar limbah tebu belum berhasil
meningkatkan produktivitas kambing. Pendekatan melalui teknik pengolahan pakan
sebelum pakan dikonsumsi akan dapat meningkatkan daya guna bagase tebu.
Rekayasa teknologi pengolahan pakan yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kualitas nutrisi bagase tebu adalah teknik amoniasi dan
fermentasi. Proses amoniasi akan melemahkan ikatan lignoselulosa bagase tebu
serta fermentasi telah terbukti dapat menurunkan kadar serat kasar dan
meningkatkan kadar protein kasar. Mikroba yang sering digunakan sebagai agen
fermentasi limbah yang mengandung serat kasar tinggi adalah kapang Trichoderma
viride. Kapang tersebut akan menghasilkan enzim untuk mencerna serat kasar
sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pakan.
Pemanfaatan bagase selanjutnya adalah dalam pembuatan papan
partikel. Teknologi pembuatan papan partikel dari bagase telah menghasilkan
papan partikel yang memenuhi Standar Industri Indonesia (SII). Papan partikel
dari bagase tebu dibuat dengan cara pengeringan, penggilingan, dan penyaringan bagase,
pencampuran bagase dengan perekat, resin dan parafin wax serta pencetakan
dengan tekanan hidrolik pada kondisi tekanan 10 kg per cm2, suhu 1500C
selama 15 menit.
Pemanfaatan Limbah
Blotong
Salah satu limbah yang dihasilkan industri gula adalah blotong, yaitu
limbah dalam bentuk padat mengandung air, bertemperatur cukup panas dan berbentuk
seperti tanah. Sebenarnya blotong adalah serat tebu yang bercampur kotoran yang
dipisahkan dari nira. Komposisi blotong terdiri dari sabut, wax dan fat kasar,
protein kasar, gula, total abu, SiO2, CaO, P2O5 dan MgO.
Selama ini pemanfaatan blotong pada umumnya sebagai pupuk organik.
Di beberapa pabrik gula, blotong diproses menjadi pupuk organik yang kemudian
digunakan untuk menyuburkan tanaman tebu. Selain untuk pupuk, blotong juga
dimanfaatkan sebagai pengganti kayu bakar. Pemanfaatan blotong sebagai kayu
bakar sebenarnya sudah lama dilakukan oleh masyarakat di sekitar pabrik gula.
Pemanfaatan blotong sebagai pengganti kayu bakar diawali dari
pengalaman masyarakat setelah melihat bahwa blotong bisa terbakar. Setelah itu
kemudian timbul pemikiran untuk memanfaatkan blotong sebagai pengganti kayu
bakar dengan cara menghilangkan kadar air yang terkandung di dalamnya. Untuk
memudahkan dalam penggunaanya sebagai kayu bakar, masyarakat mencetak blotong
dalam ukuran yang mudah diangkut dan sesuai dengan ukuran mulut kompor di dapur.
Proses pembuatan blotong pengganti kayu bakar sangat sederhana, limbah
blotong dari pabrik yang masih panas, diangkut dengan dump truk menuju lokasi
pengrajin pembuat blotong kayu bakar. Blotong kemudian dijemur di terik
matahari selama 2 – 3 minggu dengan intensitas matahari penuh. Sebelum total
kering, lapisan blotong ini dipadatkan dengan tujuan untuk mempersempit pori
dan membuang sisa kandungan air, kemudian dipotong seukuran batu bata untuk
memudahkan pengangkutan.
Hasil yang diperoleh dari proses ini adalah blotong seukuran batu
bata yang bobotnya ringan karena kandungan airnya sudah hilang. Ketersediaan
blotong sebagai bahan bakar untuk memasak cukup melimpah sehingga masyarakat di
sekitar pabrik gula dapat memiliki cadangan blotong bahan bakar hingga musim
giling tebu tahun depan.
Selain itu, blotong dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein.
Kandungan protein dari nira tebu sekitar 0,5% berat zat padat terlarut. Dari
kandungan tersebut telah dicoba untuk melakukan ekstraksi protein dari blotong
dan ditemukan bahwa kandungan protein dari blotong yang diperas sebesar 7,4%.
Blotong dengan kandungan protein yang cukup tinggi dapat dimanfaatkan
sebagai pakan ternak dengan cara dikeringkan dan dipisahkan partikel tanah yang
terdapat di dalamnya. Untuk menghindari kerusakan oleh jamur dan bakteri
blotong yang telah dikeringkan harus langsung digunakan dalam bentuk pellet.
Pemanfaatan Limbah Tetes
Tetes merupakan limbah yang diperoleh dari hasil pemisahan sirop
low grade di mana gula dalam sirop tersebut tidak dapat dikristalkan lagi. Tetes
yang dihasilkan pada pemrosesan gula sekitar 5-6% dari berat tebu, sehingga
untuk pabrik dengan kapasitas 6.000 ton tebu per hari akan menghasilkan tetes
sekitar 300 ton sampai 360 ton tetes per hari. Walaupun masih mengandung gula,
tetes sangat tidak layak untuk dikonsumsi karena mengandung kotoran bukan gula
yang membahayakan kesehatan.
Penggunaan tetes sebagian besar untuk industri fermentasi seperti
alkohol, pabrik MSG, pabrik pakan ternak dan lain-lain. Tetes merupakan bahan yang
kaya akan karbohidrat mudah larut (48-68%), mengandung mineral cukup banyak dan
disukai ternak karena baunya manis. Selain itu, tetes juga mengandung vitamin B
komplek yang sangat berguna untuk sapi anakan.
Tetes mengandung mineral kalium sangat tinggi sehingga
pemakaiannya pada sapi harus dibatasi maksimal 1,5-2 kg/ekor/hari. Penggunaan
tetes sebagai pakan ternak sebagai sumber energi dan meningkatkan nafsu makan,
selain itu juga untuk meningkatkan kualitas bahan pakan dengan peningkatan daya
cernanya. Apabila takaran melebihi batas atau sapi belum terbiasa memakannya maka
akan dapat menyebabkan kotoran sapi menjadi lembek.
Selain itu, tetes dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan
bioetanol. Pembuatan bioetanol dari tetes dilakukan melalui tahap pengenceran
karena kadar gula dalam tetes tebu terlalu tinggi untuk proses fermentasi. Kadar
gula yang diinginkan kurang lebih adalah 14%. Kemudian dilakukan penambahan
ragi, urea dan NPK, selanjutnya dilakukan proses fermentasi.
Proses fermentasi berjalan kurang lebih selama 66 jam atau sekitar
2,5 hari. Salah satu tanda bahwa fermentasi sudah selesai adalah tidak terlihat
lagi adanya gelembung udara. Kadar etanol di dalam cairan fermentasi kurang
lebih 7-10%. Setelah proses fermentasi selesai, cairan hasil fermentasi dimasukkan
ke dalam evaporator atau boiler dan suhunya dipertahankan antara 79-810C.
Pada suhu ini etanol sudah menguap, tetapi air tidak menguap, selanjutnya uap
etanol dialirkan ke distilator.
Bioetanol akan keluar dari pipa pengeluaran distilator. Pada distilasi
pertama, biasanya kadar etanol masih di bawah 95%. Apabila kadar etanol masih
di bawah 95%, distilasi perlu diulangi lagi hingga kadar etanol menjadi 95%.
Apabila kadar etanol sudah 95% kemudian dilakukan dehidrasi atau penghilangan
air. Untuk menghilangkan air bisa menggunakan kapur tohor atau zeolit sintetis.
Setelah itu didistilasi lagi hingga kadar airnya kurang lebih 99.5%.
Berbagai pemanfaatan limbah
industri gula tersebut bukan saja dapat meningkatkan nilai tambah dan nilai
guna limbah tetapi juga dapat mengatasi masalah lingkungan. Pemanfaatan limbah
industri gula perlu terus dikembangkan sehingga kehadiran pabrik gula tidak
menimbulkan dampak yang merugikan terhadap lingkungan dan gangguan terhadap
warga masyarakat di sekitarnya tetapi justeru memberikan manfaat yang menguntungkan.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar